RSS

Arsip Bulanan: Agustus 2015

Sepasang Sandal

Apa cuacamu malam ini? Bukankah dulu kita sering saling menyapa kabar begini? Kamu yang mengolah segala sesuatu di dunia ini dengan kongkret, akhirnya terjebak masuk ke dalam duniaku yang abstrak. Penuh metafora. Dan dari wajahmu, kusimpulkan kau bahagia.

Cuacaku malam ini berkabut. Mungkin gara-gara memaksakan diri menyeruput sekotak jus mangga yang telah habis. Sisa-sisa aroma mangganya menyelusup ke dalam rongga memoriku. Berubah wujud menjadi sebait prosa. Prosa ini bisu jika kau tak membacanya. Dan prosa ini tetap bisu kalaupun kau membacanya. Karena kita. Tak ‘kan pernah lagi saling berbicara.

Aku mengingat cerita tentang sepasang sandal.

Saat itu katamu, kau punya sebuah sandal yang hanya sebelah. Kau mengaku telah sejak awal kau memilikinya ia hanya sebelah. Aku tertarik mendengar ceritamu. Dan semakin berbinar-binar saat kau menyebutkan warnanya. Biru. Warna kesukaanku, yang juga ternyata kesukaanmu. Dan aku juga kebetulan punya sebelah sandal yang hanya sebelah sejak awal ku memilikinya. Warnanya biru. Benar-benar kebetulan yang menyenangkan.

Kita sumringah saat itu, membayangkan betapa asiknya jika kita menyatukan keduanya. Kita membayangkan betapa manisnya saat kedua sandal yang saling sebelah itu bersatu. Tersenyum menyambut kekasih yang telah lama dirindukannya di sebelahnya. Seperti tatapan kita yang entah bagaimana saling tersipu saat beradu.

Waktu dan tempat yang ditentukan telah tiba. Aku menenteng sebelah sandalku dengan suka cita. Ku dendangkan soneta terindah yang pernah ku nyanyikan. Rasanya melodi itu merdu betul di telingaku. Padahal sesungguhnya aku tidak pernah pandai menyanyi.

Ku lihat kau di kejauhan melambaikan tangan, berseru, “Hoiii!” panjang yang menyiratkan kegembiraan yang sama. Ketika jarak kita semakin dekat, wajah kita merona. Saling menundukkan pandangan malu-malu.

“Mana sandalmu?” tanyamu malu-malu. Sembari mengangkat lenganku ke udara di hadapanmu, ku tunjukkan sandalku yang menggantung di ujung jempolku. Beberapa detik berlalu. Ku lihat wajahmu masih memerah. Tetapi tak ku temukan senyum itu. Senyum yang selama ini ku idam-idamkan muncul di wajahmu yang teduh.

“Maaf .. ” gumammu pelan. Sendu.

Seketika ada rasa gelisah yang meracuni detak jantungku yang entah mengapa jadi berdebar lebih cepat. Takut-takut ku lirik sebelah sandal yang sedari tadi kau tenteng dengan tangan kananmu. Jemarimu mengeras.

Sandalmu berwarna biru, sama seperti milikku. Namun, ada dua garis merah yang menghiasi alasnya. Motif yang tidak ku temukan pada sandalku yang biru. Biru polkadot.

Cahaya dari binar mataku seketika meredup.

Sayup-sayup ku dengar kau bertanya sendu, “Bisakah kita melangkah menuju surga dengan sandal yang sebelahnya saling berbeda?”

Cimande, 15 Agustus 2015. Ditulis oleh Salma Fajariyyatunnisa.
“Kapan kita terakhir saling berbicara?”

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada Agustus 15, 2015 inci Uncategorized